A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Karya sastra
adalah ungkapan
pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat,
keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan yang dapat membangkitkan pesona
dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan yang
didalamnya ada pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sastrawan, untuk
mengambil pesan dari karya-karya sastra itu khususnya puisi, perlu dilakukan
analisis secara mendalam atau lebih detail salah satunya dengan memaknai pusi
tersebut, salah satunya dengan menggunakan analisis hermeneutika paul ricoeur.
Setiap
penyair pasti mempunyai gaya atau ciri khas tersendiri untuk menulis karyanya.
Entah itu dalam pemilihan bahasa atau pemenggalan kata yang digunakan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan sebuah analisis untuk dapat mengetahui secara jelas
interpretasi dan maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam puisinya. Salah satu
cara yang dapat digunakan untuk menganalisis sebuah puisi adalah teori
hermeneutika. Dalam makalah ini, penulis menggunakan teori hermeneutika yang
diungkapkan oleh Paul Ricoeur.
Jejak sastra (baca:puisi) sufi telah
ada dalam khazanah sastra Nusantara bersamaan dengan perkembangan Islam di
Nusantara. Setidaknya, sejak lahir abad ke 16, telah mucul Hamzah Fansuri
diikuti oleh Syamsudin Sumatrani yang kemudian direspon oleh Nuruddin
al-Raniri.
Dengan penjelasan diatas, yang perlu
mendapatkan perhatian untuk diteliti dari perpuisian sufi Indonesia modern
adalah periode tahun 1980-an sampai 1990-an. Penelitian terhadap puisi-puisi
sufi, pada periode ini, masih belum banyak. Oleh karena itu, penelitian ini
menjadi penting keberadaanya sebagai langkah untuk mengungkap wawasan estetika sastra sufi
periode tahun 1980-an sampai 1990-an. Dalam hal ini, karena penelitian ini akan membahas
puisi-puisi sufi Abdul Wachid B.S. dalam Hyang, maka tema yang diangkat
adalah Hyang. Hal ini didasarkan pada khasnya puisi-puisi Abdul Wachid
B.S.dalam Hyang yang banyak memberdayakan metafora dan simbol cahaya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan
dalam penelitian ini mencakup (1) metafora dalam buku puisi hyang, (2)simbol-simbol
orang dalam buku puisi hyang, dan (3) konsep mistisme orang pada buku
puisi hyang karya Abdul Wachid
B.S. Selain tiga permasalahan diatas, penelitian ini juga membahas permasalahan
yang mencakup (1) mistisisme Islam dan perkembangan sufi indonesia modern, (2)
konsep orang dalam tradisi mistisime Islam. Pembahasan dua persoalan ini dalam
rangka untuk merunut alur pikir penelitian sehinggan pembaca bisa lebih
memaknai konteks pembahasan dalam penelitian ini.
Selanjutnya,
dalam perkembangan puisi sufi Indonesia antara tahun 1980-an, penyair yang
puisi-puisinya khas mempertengahkan dan membicarakan orang adalah Abdul Wachid
B.S dalam kumpulan puisinya hyang . Seperti halnya hakikat puisi sebagai
bahasa yang metaforik dan bersimbol, maka orang dalam kumpulan puisi hyang mewacana
dalam bahasa metafora dan simbol. Oleh karena itu, untuk bisa mengungkap konsep
orang, penelitian ini menggunakan teori hermeneutika Paul Ricoeur, khususnya
teori metafora dan simbol. Hermeneutika digunakan sebagai teori untuk
mengungkap konsep filosofi orang yang terpresentasikan dalam kumpulan puisi hyang.
Oleh karena puisi-puisi yang dikaji
adalah sastra (puisi) sufi, yaitu puisi yang membahas prinsip tauhid (keesahan
Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi-Tuhan,
dan kehendak bebas manusia, serta derivasii yang berkaitan denga
prinsip-prinsip tersebut (Schimel, 1986: Nasr, 1980), maka pemaknaan tekstual
dalam penelitian ini didasarkan pada kerangka mistisisme islam (sufi). Artinya,
pemakna filosofi orang didasarkan pada terminologi tasawuf yang berdasarkan
pandangan atau persepsi filosofi Islam dalam memaknai orang sebagai manifestasi
tuhan.
C. TUJUAN
Secara teoritis, tujuan penelitian ini
adalah pertama, mengkaji dan mendeskripsikan konsep orang yang terdapat
pada metafora dan simbol dalam kumpulan puisi Hyang karya Abdul Wachid
B.S. Kedua, mendeskripsikan pemikiran filosofis tentang orang dalam
terminologi misitisisme Islam sebagai dunia yang diacu dari puisi Hyang karya
Abdul Wachid B.S. Ketiga, selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan keragaman wacana seputar aplikasi teori hermeneutika Paul Ricoeur,
khususnya mengenai teori metafora dan simbol dalam memaknai karya puisi sufi.
Penelitian
ini membahas orang dalam puisi Hyang, khususnya pada metafora dan
simbolnya. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil perspektif tekstual, yaitu
hermeneutika Paul Ricoeur sebagai teori yang digunakan untuk mengungkap makna.
Pilihan tema orang dalam penelitian ini secara praktis diharapkan memberikan
kontribusi pemikiran penting bagi pembaca dalam melihat dan mempersepsi
khazanah puisi-puisi sufi indonesia, yang saat ini perpuisian sufi Indonesia
banyak dimaknai sebagai puisi yang membahas ketauhidan dan perjalan spiritual
"aku-lirik" dalam memdekatkan dan meyatukan hamba dengan Tuhannya.
D.
LANDASAN TEORI DAN METODE
1.
TEORI HERMENEUTIKA
Hermeneutika
adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur,1981:43),
dan palmer (2003:8) menjelaskan bahwa dua fokus dalam kajian hermeneutika
mencakup: (1) peristiwa pehahaman terhadap teks, (2) persoalan yang lebih
mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi. Hal ini memperlihatkan bahwa
gagasan utama dalam hermeneutika adalah "pemahaman (understanding) pada
teks".
Ricoeur (1981: 146) menjelaskan bahwa teks
adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh
tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak
diucapkan. Di sini, terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan
dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang dituliskan dalam hermeneutika
Paul Ricoeur, berdiri secara otonom, bukan merupakann turunan dari bahasa
lisan, seperti yang dipahami oleh struktualisme.
Ricoeur menegaskan bahwa teks bukanlah
sekedar inskripsi (pembakuan ke dalam tulisan). Perwujudan wacana kedalam
bentuk tulisan mempunyai beberapa ciri yang mempu membedakan teks dari berbagai
wacana lisan. Ricoeur meringkas ciri-ciri ini ke dalam konsep yang disebut
"penjarakan" yang memiliki empat bentuk dasar. Pertama, makna
yang dimaksudkan melingkupi peristiwa ucapan. Maknalah yang diinskripsikan
kedalam tulisan, dan inskripsi makna bisa terjadi karena ada "pengungkapan
yang bermaksud ". Kedua, berhubungan dengan relasi antara ungkapan
diinskripsikan dengan pengujar asli. Kalau dalam wacana lisan, maksud pembicara
dan makna apa yang dibicarakan sering tumang tindih, maka dalam bahasa tulis
hal ini tidak akan terjadi. Ketiga, memperlihatkan ketimpangan serupa
antara ungkapan yang diinskripsikan dengan audien asli, yaitu wacana tulisan
dialamtkan kepada audien yang belum dikenal, dan siapa saja yang bisa membaca
mungkin saja menjadi salah seorangmya. Keempat, berhubungan dengan
pembebasan teks dari rujukan pasti, yaitu dalam wacana tulisan, realitas yang
dirasakan bersama ini tidak ada lagi. Oleh karena itu, kemungkinan yang muncul
adalah dimensi rujukan teks berada ditatanan yang berbeda dari dimensi rujukan
ujaran, sebuah rujukan yang akan terungkap dalam proses interpretasi (Thompson,
1981: 13-14).
Teks sebagai wacana yang dikembangkan Ricoeur
ini mengacu pada dialetika antara peristiwa dan makna, yaitu
peristiwa sebagai proposisi yang dianggap sebagai fungsi predikatif yang
digabung dengan identifikasi. Dengan demikian, wacana diaktualisasikan
sebagai peristiwa; semua wacana dipahami sebagai makna.
Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa
kerangka analisis hermeneutika Paul Ricoeur
beroperasi pada teks sebagai dunia yang otonom. Teks mempunyai dunianya
sendiri yang terbebas dari beban psikologi mental pengarangnya. Teks adalah
bahasa tulis yang memenuhi dirinya sendiri, tanpa bergantung pada bahasa lisan.
Oleh karena itu, interpretasi bergerak pada dua wilayah, yaitu "ke
dalam" sense, yang berupa "penjelasan" terhadap dunia
dalam taks dan "ke luar" referance, yang berupa
"pemahaman " terhadap dunia luar yang diacu oleh teks.
2.
TEORI METAFORA
Metafora, kata Monroe, adalah "puisi dalam
miniatur". Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya
sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit.
Dalam tradisi positivisme logis, perbedaan antara makna eksplisit dan implisit
diperlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian
dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi dan konotasi. Denotasi
dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan tatanan semantik, sedangkan
konotasi adalah ekstra-semantik. Konotasi terdiri atas seruan-seruan emotif
yang terjadi serentak yang nilai kognitifnya dangkal. Dengan demikian, arti
figuratif suatu teks harus dilihat sebagai hilangnya makna kognitif apapun.
Karya sastra dibuka oleh saling berpengaruhnya makna-makna ini, yang memusatkan
analisisnya pada desain verbal, yaitu karya wacana yang menghasilkan ambiguitas
seemantik yang mencirikan suatu karya sastra. Karya wacana inilah yang dapat
dilihat dalam miniatur dalam metafora (Ricoeur, 1976:43).
Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai
majas yang mengelompokan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman
kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi. Aristoteles, dalam
poetic's-nya, menjelaskan bahwa metafora adalah "penerapan kepada suatu
benda nama yang termasuk sesuatu yang lai, interferensi yang terjadi dari jenis
ke spesies, dari spesies ke jenis, dari spesies ke spesies, atau secara
proporsional". Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong demantik dalam
kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh
karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan
kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui
pemakaian biasanya (Ricoeur, 1976:45).
Untuk itu, retorika klasik sebagai majas metafora
dipandang sebagai substitusi sederhana dari kata satu untuk kata yang lain.
Metafora klasik tidak menjelaskan kreasi makna ini karena hanya bersifat
subsitusi, yaitu ketegangan hanya terjadi pada wilayah interpretasi kata
sehingga tidak menciptakan makna baru, tetapi hanya bersifat
dekoratif-ornamental. Metafora klasik ini hanya mencakup satu 'bagian' dari apa
yang disebut Aristoteles dengan diksi yaitu salah satu dari seekumpulan
prosedur diskrusif, penggunaan kata-kata yang tidak lazim, menciptakan
kata-kata baru, mempersingkat atau memperpanjang kata-kata, yang semuanya
menyimpang dari penggunaan kata-kata seecara umum (Ricoeur, 1981:179). Konsep
metafora klasik diatas oleh Ricoeur (1976:61) disebut dengan metafora mati.
Sementara itu, metafora secara kreatif terjadi karena
pesan paling sederhana yang disampaikan melalui bahasa yang alami harus
ditafsirkann, karena semua kata memiliki arti lebih dari satu dan baru mendapat
aktualnya jika dikaitkan dengan konteks, dan audien yang ada, dan bukan dengan
latar belakang situasi (Ricoeur, 1977:125). Metafora hidup merupakan inovasi
semantik yang bagian arti dari tatanan predikatif sakaligus tatanan
(penyimpangan paradigmatis) (Ricoeur, 1977: 156-157).
Dengan demikian, pada teori modern, metafora berhubungan
dengan semantik sebelum berhubungan dengan semantik kata, berari dalam tuturan,
merupakan fenomena predikasi. Metafora adalah hasil ketegangan antara dua kata
dalam suatu tuturan metaforis. Lebih lanjut, Paul Ricoeur menganggap bahwa
metafora adalah sebuah kalimat atau bentuk ekspresi lainnya, yang kata-katanya
digunakan secara metaforis. Terlihat disini. Ricoeur menarik persoalan metafora
dari semantik kata kepada semantik kalimat yang implikasinya adalah pada konsep
metafora pernyataan dilakukan melalui analisis wacana. Di sinilaah terlihat
teori interpretasi Ricoeur merekognisi teori metafora klasik yang dasar
metaforannya pada metafora kata.
Dengan demikian. Konsep metafora menurut Paul Ricoeur
dapat disimpulkan; (1) meafora terjadi pada wilayah interpretasi dalam satu
proposisi yang ditandai oleh unsur predikasi. Metafora merupakan ketegangan
pada dua dunia (kata) yang berbeda karena adanya keserupaan yang ditandai oleh
kehadiran predikasi-universal. Hal ini mengakibatkan ketegangan dalam
metaforasesungguhnya tidak dapat diparafrasekan, artinya, kalaupun bisa,
parafrase semacam ini tidak terbatas dan tidak mampu menjelaskan makna
inovatifnya; (2) metafora bukanlah hiasan wacana. Metafora memiliki lebih dari
hanya nilai emotif karena metafora memberi informasi baru.
3. TEORI SIMBOL
Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti “menghubungkan atau menggabungkan” . symbol
merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang
berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi
Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau
intensionalitas arti gandanya.
Ricouer merumuskan bahwa
setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang
menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang
tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama Ricouer mendefinisikan simbol
sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok
atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung,
sekunder dan figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (Poespoprodjo, 2004:119).
Simbolisasi adalah figurasi
analogis, dan dapat disamakan dengan metafora, yaitu mengganti sebuah ujaran
dengan penanda yang lain, bukan dengan penanda terdekat seperti dalam metonimi,
tetapi dengan penenda yang mempunyai kemiripan dengan penanda yang lain, bukan
dengan penanda yang mempunyai kemiripan dengan penanda yang pertama. Tentu saja
di sini antara bahasa mimpi dengan bahasa sastra menemukam perbedaan, dalam
bahasa mimpi berupa mekanisme tak sadar, sedangkan dalam bahasa sastra berupa
tindakan sadar.
“Setiap kata adalah Simbol”, demikian ditegaskan Paul
Ricoeur (via Sumaryono, 1999: 106; Wachid B.S., 2008: 26).
Dalam simbol, semesta yang suci adalah kapasitas bericara
yang didasarkan pada kapasitas kosmos untuk dimaknai. Dengan demikian, logika
makna, berjalan dari struktur semesta suci saja. Hukumnya adalah hukum
kesesuaian antara kreasi dalam in
illo tempore dan tatanan panampilan alamiah yang ada dan aktivitas manusia.
Logika kesesuaian itulah yang mengikat wacana pada
semesta Yang Suci: kita bahkan mengatakan bahwa selalu dengan bantuan wacana
logika ini menampakan dirinya karena jika tidak ada mitos yang menceritakan
bagaimana benda-benda itu muncul, atau jika tidak ada ritual yang mengulang
kembali proses ini, Yang Suci tidak tampak.
4. KONSEP
Konsep merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu objek, melalui konsep diharapkan
akan dapat menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan suatu istilah. Istilah lain yaitu
suatu pengelompokan atau penggolongan, mengklasifikasikan, dan mengategorikan.
Konsep menurut Aristoteles
merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat
pemikiran manusia. Konsep meupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental
yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol.
E. PEMBAHASAN
1. METAFORA DALAM SAJAK "Orang”
Pemaknaan
sajak yang berjudul “Orang”
menyiratkan suatu arti tentang keangkuhan, kesombongan, fanatik. Kata "orang"
berhubungan dengan manusia. "orang" berarti "makhluk
hidup", yaitu "seseorang yang lupa bahwa dirinya makhluk Tuhan yang
paling beradab". Beradab ini biasanya berhubungan dengan perilaku,
misalnya baik, buruk, ramah, dan angkuh. Dengan demikian judul
"orang" meyangkut pada
budaya, bahasa, perilaku tergantung dimana seseorang itu tinggal. Judul ini
menyiratkan adanya rasa keyakinan yang sangat benar atau mutlaq kebenarannya
pada perilaku yang sudah dibuatnya dan menunjukan sikap angkuh, sombong dan
fanatik. Hanya memandang dari luar saja dan mengabaikan orang disekitarnya.
(1)
orang itu telah lama lupa
Dirinya manusia
Tersebab dia anggap paling benar
Dirinya manusia
Bait pertama diatas mengungkapkan keangkuhan "aku-lirik"
bahwa dirinya tersusun atas dua hal yaitu "keyakinan" dan
"keangkuhan". Keyakinan dan keangkuhan dianggap sebagai dunia yang
berbeda. Metafora-pernyataan muncul proposisi "tersebab dia anggap paling
benar//dirinya manusia" yang terjadi "orang itu telah lama
lupa", "dirinya manusia" disebut metafora-pernyataan karena komposisinya sudah memenuhi syarat
seebagai proposisi, yaitu minimal dibangun atas unsur subjek sebagai
indentifikasi-tunggal "dirinya manusia" dan unsur predikasi umum
sebagai prediksi "lupa", sedangkan "tersebab dia anggap dirinya
paling benar" sebagai atribusi keterangan keadaan.
"orang itu telah lama lupa" "dirinya
manusia" menggabungkan dua dunia yang berbeda yang absurditas dalam
keserupaan. "orang" merupakan makhluk hidup yang asal mulanya
diciptakan dari tanah oleh Allah. Orang lebih bersifat manusia, sedangkan
"manusia" merupakan persamaan kata dari orang . Keabsurditasan
kalimat-metaforis "orang itu telah lama lupa dirinya manusia"
menyiratkan suatu pengalaman seseorang yang merasa dirinya paling mengetahui
tentang tatanan kehidupan dan apabila dia memeluk agama islam sangat fanatik
hanya memnadang agama islam dari luar saja. Merasa dirinya paling mengetahui
"tersebab dia anggap paling benar". Sekalipun "tersebab dia
anggap paling benar" juga menunjukan adanya difference, tetapi
bukanlah metafora --dalam pengertian Ricoeur--karena perbadaan terjadi hanya
pada level kata (world-metaphor). Dalam hal ini, matafora-kata tidak
memiliki fungsi penting dalam wacana (puisi), selain sebagai
dekorasi-ornamental. "dirinya manusia" fungsinya sebagai keterangan
yang menyiratkan makhluk tuhan yang paling angkuh, hidup didunia hanya ingin
masuk akhirat dan mengabaikan orang-orang disekitarnya tanpa peduli terhadap
tetangga, teman dekat , da keluarga.
Dengan demikian, sense bait pertama ini
mewacanakan tentang keadaan "aku-lirik", seseorang lupa bahwa dirinya
makhluk tuhan yang paling beradab karena dia merasa bahwa dirinya paling
mengetahai tentang tatanan kehidupan dan merupakan ungkapan keberhasilan
kehidupan lahiriah dan seseorang yang mempunyai tujuan hidup hanya untuk masuk
akhirat sehingga mengabaikan orang disekitarnya.
Keadaan "aku-lirik" di bait pertama dipertegas
oleh bait selanjutnya.
(2) orang itu
telah lama lupa
Dirinya
tidak gila
Tersebab dia
anggap paling benar
Dirinya
tidak gila
Proposisi yang terdiri atas "orang itu telah lama
lupa" sebagai identifikasi-singular, "dirinya tidak gila"
sebagai prediksi-universal, dan "tersebab dia anggap dirinya paling
benar" sebagai atribusi keterangan penjelas. Konsep metaforanya terdapat
pada level antar baris, yang tension (ketegangan) wacananya terjadi pada
baris pertama dan kedua. "orang itu telah lama lupa" sebagai metafora
pernyataan mengasosiasikan keangkuhan, sedangkan "tersebab dia anggap
paling benar" mengasosiasikan keyakinan, yang keduanya jelas
mengasosiasikan realitas yang berbeda (differemces) dan paradoks, yaitu
keangkuhan yang selalu identik dengan perilaku yang tidak peduli dengan
siapupun, sedangkan keyakinan identik dengan hal yang sangat dipercaya. Hal
inilah yang disebut dengan konflik interpretasi yang dipertahankan dalam
metafora, ketika strategi wacana ini menyebabkan tuturan metaforis memperoleh
hasilny, yaitu absurditas (Ricoeur, 1976:47 ).
Dengan demikian, reference puisi "orang"
ini mengungkapkan dunia tentang kehidupan dunia "aku-lirik" yang
mempunyai komitmen bahwa dirinyalah yang paling benar diposisikan
"aku-lirik" sebagai orang yang angkuh dari kehidupan
"aku-lirik" mengungkapkan keberhasilan kehidupan lahiriah karena dia
menganggap dirinya paling benar justeru tidak dibenarkan dan sudah dipatri
dengan pola yang memaksakan diri atau seseorang karena menganggap benar.
2.
Simbol
Lupa Dalam Sajak "Orang"
Simbol lupa pada sajak
"orang" muncul pada bait
kedua.
(1)
Orang itu telah lama lupa
Dirinya tidak gila
Tersebab dia anggap paling benar
Dirinya tidak gila
Pada arti teks (sense) sajak
"orang" mengungkapkan peristiwa tentang keangkuhan
"aku-lirik" untuk mencapai keberhasilan kehidupan lahiriah. Sekalipun
konsep angkuh tidak diungkapkan, tetapi eksistensi angkuh di represantasikan
dengan simbol lupa. Disinilah lupa sebagai simbol telah mempunyai makna tambah,
yaitu selain pemaknaan lupa berangkat dari medan semantis dan sintaksis, untuk
mendapatkan wacana keseluruhannya, pemaknaan akan ditingkatkan pada wilayah
nonsematik.
Dengan demikian, konsep lupa pada
sajak "orang" mempresentasikan maknna "angkuh", untuk
mencapai keberhasilan kehidupan lahiriah tergantung dimana seorang itu tinggal
berdasarkan budaya, bahasa dan perilaku.
Simbol
orang
itu telah lama lupa dirinya tidak gila pada puisi Abdul
Wachid B.S
yang berjudul Orang terdapat pada bait
ketiga. Pada bait pertama sudah disinggung atau memiliki asosiasi yang
berkaitan dengan orang itu telah lama lupa dirinya manusia.
Tetapi apakah maksud dari penyair menulis dengan teknik simbol ini, maka perlu
dikaji dan di subdisiplinkan dengan beberapa penjabaran.
Dan "orang-lirik" sama
saja dengan manusia, manusia adalah persoalan yang tidak habis-habisnya untuk
didiskusikan. Bagaimana seharusnya manusia yang sempurna?semua pertanyaan itu
terus menjadii persoalan manusia yang dikaji dalam berbagai perspektif
psikolgis, sosiologis, biologis dan kajian-kajian lainnya. Dalam berbagai
aliran psikologi, seperti psikoanalisa Sigmund Freud, memandang perilaku
manusia banyak dipengaruhi masa lalu, alam tak sadar, dorongan-dorongan
biologis yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi.
Misal pada bait pertama yang menerangkan dari pengertian diatas “orang
itu telah lama lupa dirinya manusia”. Kemudian disusul
dengan bait kedua “tersebab dia anggap paling benar dirinya
manusia ” dari kalimat tersebut menjelaskan bahwa
seseorang lupa bahwa dirinya makhluk tuhan yang paling beradab
karena dia merasa bahwa dirinya paling mengetahui tentang tatanan kehidupan. Pada
bait ketiga
“orang
itu telah lama lupa dirinya tidak gila” dan
pada bait terakhir "tersebab dia anggap paling benar dirinya tidak
gila"merupakan inti dari persoalan. Dia
melakukan tindakan-tindakan yang menurutnya sesuai dengan kaidah-kaidah kehidupan menurutnya seperti
adat agama, perilaku yang dipaksakan.
3.
KONSEP Orang
Dirinya
tidak gila pada sajak "Orang" diungkapkan lewat kesadaran transendental
"aku-lirik" terhadap angkuh. Angkuh transendensi
"aku-lirik" bermula dari penghayatan tentang kehidupan lahiriahnya,
yaitu kehidupan yang penuh dengan keangkuhan dengan melakukan tindakan-tindakan
yang menurutnya sesuai dengan kaidah-kaidah kehidupan menurutnya adat, agama,
perilaku yang dipaksakan. "aku-lirik" menceritakan seseorang lupa
bahwa dirinya makhluk tuhan yang paling beradab karena dia merasa bahwa dirinya
paling mengetahui tentang tatanan kehidupan, dia melakukan tindaan-tindakan yang
menurutnya sesuai dengan kaidah-kaidah kehidupan karena keyakinannya yang
menurutnya sudah sangat benar atau mutlaq kebenarannya.
Dalam
hal-ini, ada dua keangkuhan hidup "aku-lirik" yang membuatnya
kemudian memilih jalan menjadi seorang yang otoriter tidak mau menerima
pendapat orang lain.
Oleh
karena itu, jalan yang dilalui oleh "aku-lirik" berawal dari
kehidupan tubuh dan dunia sebelum akhirnya mempunyai kesadaran transendental.
Hal ini menunjukan bahwa "aku-lirik" adalah orang yang mempunyai rasa
angkuh yang tinggi demi mencapai keberhasilan kehidupan lahiriah . Keadaan ini
mengindikasikan bahwa "aku-lirik" sebenarnya adalah "keangkuhan
seseorang" yang tidak bisa dilepaskan sajak "tersebab dia anggap
paling benar" mengekspresikan
keinginan "aku-lirik" karena keyakinan yang menurutnya sudah sangat
benar.atau mutlaq kebenarannya
.
F. KESIMPULAN
Dari analisa puisi yang berjudul “Orang” dapat
disimpulkan bahwa sajak Orang menggambarkan budaya, bahasa,
perilaku tergantung dimana seseorang itu tinggal dan menganggap dirinya paling
benar, justeru tidak dibenarkan kemudian sudah di patri dengan pola yang
memaksakan diri sendiri atau seseorang karena menganggap benar tanpa
mengungkapkan maksud secara langsung. Dengan menggunakan beberapa makna kiasan, dan beberapa majas yang dapat memperindah puisi
tersebut.
Dengan
demikian ungkapan
keberhasilan kehidupan lahiriah, kita harus menanamkan keyakinan yang sangat
benar baik dari sisi luar maupun dalam diri kita harus balance.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, Heru. 2013. Mistisisme
Cahaya. Purwokerto: Kaldera.
Wachid B.S., Abdul. 2014. Hyang
(Kumpulan Sajak 2013-2014). Yogyakarta: Cinta Buku.
Pedoman Penulisan
Skripsi. 2014. Purwokerto: STAIN Press.
Wachid B.S., Abdul dan Heru Kurniawan. 2013. Kemahiran Berbahasa Indonesia. Purwokerto: Kaldera Press.
Abdul Wachid B.S., dkk. 2013. Cretive
Writing. Purwokerto: Kaldera.
KAJIAN
HERMENEUTIKA SAJAK “ORANG”
DALAM BUKU
HYANG KARYA ABDUL WACHID B.S.
Disusun dan diajukan guna memenuhi salah satu syarat
kelulusan:
Mata Kuliah: Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu: Abdul Wachid B.S.
Oleh:
ARUM NURCAHYA
NIM. 1423101052
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2015