Jemari ---- "Wawasan Psikologi Islam Tentang Kebahagiaan"



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam kamus besar bahasa Indonesia kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin[1].Kebahagiaan dalam bahasa Inggris (Happinesa), bahasa Jerman (gluck), latin (felicitas), yunani (eutychia), Arab (sa’adah). Dalam berbagai bahasa Eropa dan Arab menunjukan keberuntungan, peluang baik, dan kejadian yang baik. Dalam bahas Cina xing fu, kebahagian terdiri dari gabungan kata “beruntung” dengan “nasib baik”.
Menurut Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktifitas positif yang yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali. Seligman memberikan gambaran individu yang mendapatkan kebahagiaan yang autentik (sejati) yaitu individu yang telah dapat mengidentifikasi dan mengolah atau melatih kekuatan dasar (terdiri dari kekuatan dan keutamaan) yang dimilikinya dan menggunakannya pada kehidupan sehari-hari, baik dalam pekerjaan, cinta, permainan, dan pengasuhan[2]. Pendapat Dr. Paul pearsall dalam penelitiannya selama bertahun-tahun menemukan orang-orang yang justru menderita setelah sukses, diperkuat oleh Shawn Achor dalam bukunya, The Happiness Advantage (2010), yang mengatakan “Keyakinan bahwa sukses menjadi penyebab kebahagiaan (happiness) salah. Penelitian terkini dalam Psikologi Positif membuktikan yang benar adalah sebaliknya: kebahagiaanlah yang menyebabkan kesuksesan[3]. Walaupun tidak sama persis dengan apa yang dinyatakan oleh Dr. Paul tapi pernyataan Achor sedikit mendukung, sama-sama menentang pemikiran jika sukses akan bahagia.
Beberapa pengertian kebahagiaan menurut para ahli antara lain:  Mc Arthur (dalam Keyes and Maghar-Moe, 2004) berkata secara umum, kebahagiaan adalah adanya perasaan dan pengalaman yang menyenangkan (pleasure), memuaskan, dan adanya kegembiraan (joy). Heygen (1992) Kebahagiaan merupakan perasaan atau pengalaman subjektif yang menyenangkan, yang berkaitan dengan perasaan puas akan kehidupan dirinya secara keseluruhan. Seligman (dalam Visser, 2002) Kebahagiaan diperoleh dari adanya emosi positif dan aktivitas-aktivitas yang bersifat positif.Wicham (2008) Kebahagiaan berkaitan dengan kegembiraan dalam diri, gabungan dari kesejahteraan fisik, mental,emosional dan spiritual[4]. Menurut Akhiruddin bahagia itu ketika hidup seimbang, menjaga keseimbangan kerja dan keluarga, mampu menata hati, mampu menata diri, dan menata keluarga, dengan begitu anda lebih mampu menncintai keluarga dan pekerjaan. Artinya keluarga, karier, kesehatan, persahabatan merupakan poin-poin penting yang harus berjalan seimbang.
Kebahagiaan tidak ditentukan oleh keberuntungan, melainkan ditentukan oleh perasaan ketersinambungan dengan tujuan hidup, dengan masyarakat, dengan hal spiritual, dengan apa saja yang bermakna. Musibah dan keberuntungan bersifat objektif sedangkan penderitaan dan kebahagiaan bersifat subjektif[5]. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan timbul dari dalam diri kita, bagaimana kita menanggapi dan menilai sesuatu yang ada atau bisa disebut dengan subjektif.
B.  Faktor-Faktor  yang mempengaruhi Kebahagiaan
Seligman (dalam Visser, 2002) menyatakan bahwasannya kebahagiaan dipengaruhi 3 faktor
1.    kondisi biologis
2.    kondisi kehidupan individu (pernikahan, situasi keluarga, lingkungan, negara)
3.    kemampuan mengatur diri (kita dapat melakukan berbagai hal untuk mencapai kebahagiaan, melebihi dari yang kita bayangkan

C.  Wawasan Psikologi Islam tentang Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam islam tidak hanya ketentraman dan kenyamanan saja. Kesenangan satu saat saja tidak melahirkan kebahagiaan. Mencapai keinginan saja tidak dengan sendirinya memberikan kebahagiaan. Kesenangan dalam mencapai keinginan biasanya bersifat sementara. Satu syarat penting harus ditambahkan; yakni, kelestarian atau menetapnya perasaan itu dalam diri kita[6]. Orang yang bahagia cenderung berbuat baik, setelah bahagia pertahankan kebahagiaan itu dengan berbuat baik.  Konsep bahagia dalam perspektif islam, yang merupakan rujukan utama adalah Al-Qur’an. Kebahagiaan akan diperoleh  dengan keimanan, karena dengan spiritual akan menumbuhkan kesadaran dalam diri manusia. Siapa saya, dari mana saya berasa untuk apa saya hidup dan kemana nantinya[7].  
Ayat-ayat Al-Quran tidak saja menunjukan bahwa tujuan akhir dari perintah Allah adalah supaya kamu berbahagia, tetapi juga rincian perbuatan yang bisa membawa kita kepada kebahagian[8]. Dinamika psikologi kebahagiaan, dalam tubuh manusia terdapat 4 komponen yang sangat urgen : Spiritual, akal, qolbu, nafsu. Empat komponen ini harus harus bisa dikendalikan, dalam agama islam pengendalian tersebut merujuk pada Al-Quran, hadits dan pendapat para ulama. Sebagaimana yang dipaparkan oleh  M. Syamsul Arifin bahwa konsep kebahagiaan yang dikemukakan oleh Imam Al Ghazali didasarkan pada Al Quran, Hadis dan pendapat para ulama yang dirumuskan dalam sebuah karya berjudul Kimia’us Sa’adah (kimia Kebahagiaan), ringkasan dari masterpiece-nya yang berjudul Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan kembali ilmu agama). Menurut Dr. Aidh Abdullah Al-Qurani untuk meraih kesuksesan, kebahagiaan dan kemuliaan hidup yaitu dengan memegang 30 kunci, yang pada dasarnya penerapan isi Al-Quran dalam kehidupan  sehari-hari. Beberapa diantaranya yaitu: bersyukur, be your self, beribadah, bersabar, bersandar kepada Allah dan lain-lain.
Menurut Imam Al Ghazali ada empat bagian pengetahuan yang harus diramu untuk mencapai kebahagiaan, yakni:
1.      pengetahuan tentang diri sendiri,
2.      pengetahuan tentang Allah SWT,
3.      pengetahuan tentang dunia dan pengetahuan tentang akhirat.
Puncak kebahagiaan adalah saat seseorang berhasil mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah dengan sebenarnya). Memperoleh kebahagiaan dalam islam : hubungan dengan Allah Subhanahu wata’ala, hubungan dengan sesama manusia, lingkungan yang sehat, berkomunikasi dengan diri sendiri[9].

D.  Wawasan Kebahagiaan menurut Psikologi Barat
Bahagia menurut Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan[10]. Dan menurutnya juga syarat untuk memperoleh kebahagiaan adalah : good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good friends, good money, and goodness[11].
Sedangkan Prof. Seligman meyakini bahwa kebahagiaan bisa dipelajari. Orang dapat mengubah kebahagiaan mereka dengan belajar mengembangkan kekuatan dan kebajikan. Adapun faktor yang mempengaruhi antara lain adalah uang, perkawinan, kehidupan sosial, emosi negatif & positif, usia, kesehatan, pendidikan, iklim, ras, jenis kelamin dan agama. Menurut Prof. Seligman, ada tiga cara untuk bahagia[12]:
1.    Have a Pleasant Life (life of enjoyment): milikilah hidup yg menyenangkan, dapatkan kenikmatan sebanyak mungkin. ini mungkin cara yg ditempuh oleh kaum hedonis. tapi jika ini cara yg kita tempuh, hati2 dengan jebakan hedonic treadmill (= semakin kita mencari kenikmatan, semakin kita sulit dipuaskan) dan jebakan habituation (kebosanan karena terlalu banyak, misalnya ; makan es krim pada jilatan pertama sangat nikmat, tapi pada jilatan keduapuluh, kita jadi pengin muntah). tapi pada takaran yg pas, cara ini bisa sangat membahagiakan.
2.    Have a Good Life (life of engagement): dalam bahasa aristoteles disebut eudaimonia, terlibatlah dalam pekerjaan, hubungan atau kegiatan yg membuat kita mengalami "flow". merasa terserap dalam kegiatan itu, seakan2 waktu berhenti bergerak, kita bahkan tidak merasakan apapun, karena sangat "khusyu'". fenomena ini diteliti secara khusus oleh rekan Seligman, Mihaly Csikzentmihalyi. dan memberikan 7 ciri2 kita dalam kondisi flow:
a)    Sepenuhnya terlibat pada apa yg kita lakukan (focused, concentrated, khusyu')
b)    Merasakan "a senses of ecstasy" (seperti berada di luar realitas sehari-hari)
c)    Memiliki "kejernihan yg luarbiasa" (benar2 memahami apa yg harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya)
d)   Menyadari bahwa tantangan pekerjaan yg sedang ia hadapi benar2 dapat ia atasi (bahwa skill yg kita miliki cukup memadai untuk mengerjakan tugas tersebut)
e)    Merasakan "kedamaian hati" ( tidak ada kekhawatiran dan merasakan diri kita sedang bertumbuh melampaui ego kita sendiri)
f)     Terserap oleh waktu (karena khusyu' mengerjakan dan benar-benar terfokus pada "saat ini dan disini", waktu seakan2 berlalu tanpa terasa)
g)    Motivasi Intrinsik (dimana merasakan "flow" itu sendiri sudah merupakan hadiah yg cukup berharga untuk melakukan pekerjaan itu)

3.    Have A Meaningful Life (life of Contribution): milikilah semangat melayani, berkontribusi dan bermanfaat untuk orang lain atau mahluk lain. menjadi bagian dari organisasi atau kelompok , tradisi atau gerakan tertentu. merasa hidup kita memiliki "makna" yang lebih tinggi dan lebih abadi dibanding diri kita sendiri.

E.   Makna Hidup
Menurut Bastaman Makna hidup adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dieasakan hidup berharga dan diakini sebagai suatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya[13].
Karakteristik makna hidup adalah personal, temporer, dan unik, artinya apa yang dianggap penting dapat berubah dari waktu ke waktu. Dan saat-saat bermakna bagi seseorang belum tentu berarti pada bagi orang lain. demikian pula hal-hal yang dianggap dapat berlangsung sekejap dan dapat pula berlangsung untuk waktu yang lama.
Sifat lainnya adalah konkrit dan spesifik, yakni makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam engalaman nyata dan kehidupan sehari-hari, serta tak harus selalu dikaitkan dengan hal-hal serba abstrak filosofis dan idealitas, atau karya seni dan prestasi akademis yang serba menakjubkan. Makna hidup pun berfungsi sebagai pedoman dan arah dari kegiatan kita, sehingga makna hidup itu seakan-akan menantang kita untuk memenuhinya.
Ada tiga nilai yang merupakan sumber makna hidup, yakni:
1.      Creative values (nilai-nilai kreatif)
Yaitu bekerja dan berkarya serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung jawab penuh pada pekerjaan. Sebenarnya pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang dapat memebrikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup bukanlah terletak pada pekerjaan melainkan pada sikap dan cara kerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya. Berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasi nilai-nilai kreatif.
2.      Experiental values (nilai-nilai penghayatan)
Yaitu menyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keadilan, keimanan, dan nilai-nilai lain yang dianggap berharga. Dalam hal ini cinta kasih merupakan nilai yang dangat penting dalam mengembangkan hidup bermakna. Mencintai seseorang berarti menerima sepenuhnya keadaan orang yang dicintai seperti apa adanya serta benar-benar memahami kepribadiannya dengan penuh pengertian. Dengan jalan mengasihi dan dikasihi, seseorang akan merasa hidupnya sarat dengan pengalaman-pengalaman penuh makna dan membahagiakan.
3.      Attitudinal values (nila-nilai bersikap)
Yaitu menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penedritaan yang tak dapat dihindari lagi setelah berbagai upaya dilakukan secara optimal tetap tak berhasil mengatasinya.

Orang-orang yang mengahyati hidup bermakna adalah mereka yang mampumencintai dan menerima cinta kasih orang lain, serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu nilai hidup yang menjadikan hidup ini bermakna.
Gambaran mengenai hidup yang bermakna menunjukkan bahwa bila makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup ditetapkan serta berhasil pula direalisasikan, maka kehidupan akan dirasakan sangat berati (meaningful) yang pada gilirannya akan menimbulkan kebahagiaan (happines). Melibatkan diri dalam kehidupan yang bermakna, seseorang akan menikmati kebahagiaan sebagai ganjarannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebahagiaan adalah akibat samping (by product) dari keberhasilan seseorang memenuhi arti hidupnya[14].
Setelah kita mengetahui bahwa dengan hidup bermakna menghasilkan kebahagiaan, maka salah satu bentuk peran bimbingan konseling dalam menemukan makna hidup yaitu dengan logoterapi. Logoterapi berasal dari kata logos yang telah didopsi dari bahasa Yunani yang berarti “makna” (meaning) dan kata “ruhani” (spirituality). Logoterapi ditopang oleh filsafat hidup dan insight mengenai manusia yan mengaku adanya dimensi spiritual, selain dimensi somatic, dimensi psikologis, dan dimensi social pada eksitensi manusia, serta menekankan pada makna hidup dan kehendak untuk hidup bermakna sebagai potensi manusia. Dalam logoterapi ada pula kemampuan khas manusia, yaitu self-detachment dan self-trancendenceyang menggambarkan mengenai adanya kebebasan dan rasa tanggung jawab.
Logoterapi: psikologi untuk menemukan makna hidup, pada hakikatnya sama dengan perjuangan hidup yakni meningkatkan kondidi kehidupan yang kurang baik menjadi lebih baik. Pengembangan hidup bermakna pada dasarnya tidak berbeda dengan pengembangan pribadi yang pada umumnya yaitu mengaktualisasikan potensi diri dan melakukan traansformasi diri ke arah kondisi kehidupan yang lebih baik.
Hidup yang bermakna sebagai tujuan utama logoterapi sejalan dengan tujuan agama islam, yaitu meningkatkan kesehatan mental dan mengembangkan religiusitas. Integrasi antara mental yang sehat dan rasa keagamaan (iman dan takwa) yang tinggi menjelmakan pribadi-pribadi unggul semacam Ulil Albab, salah satu karakter terpuji dalam Al-Quran. Dengan demikian, pengembangan hidup bermakna model logoterapi sama sekali tidak bertentangan dengan usaha-usaha mengembangkan sifat-sifat baik dan membuang sifat-sifat buruk yang dalam wawasan Islam disebut Jihad Akbar.
Proses pengembangan hidup bermakna sekurang-kurangnya memerlukan sembilan unsur yaitu: niat, potensi diri, tujuan, usaha, metode, sarana, lingkungan, asas-asas sukses, dan usaha dan yang tak kalah pentingnya adalah ibadah/doa.
Untuk mempermudah penulisannya bisa dirangkai dengan sebuah kata ALUMNI PTS[15] yang merupakan akronim dari:
A     : Asas-asas sukses
L     : Lingkungan
U     : Usaha
M    : Metode
N     : Niat
I      : Ibadah

P     : Potensi diri
T     : Tujuan
S     : Sarana
Untuk menggambarkan secara sederhana hubungan antara unsur-unsur hidup bermakna atau ALUMNI PTS itu, Bastaman menganjurkan sebuah formula sebagai berikut:
HB = (N + T) x (P + A) x (U + M + S + L) x I

 


Penjelasan dan uraian tentang formula tersebut sebagai berikut : Hidup yang bermakna (HB) dapat diraih dengan jalan lebih dulu ada niat kuat untuk berubah (N) dan menetapkan tujuan yang jelas yang ingin dicapai (T) serta berusaha mengaktualisasikan berbagai potensi diri (P) dan memahami asas-asas kesuksesan (A) kemudian melakukannya (U) dengan menggunakan metode yang efektif (M) dengan sarana yang tepat (S). Proses ini akan lebih berhasil bila mendapat dukungan lingkungan sosial (L), khususnya kerja sama dengan orang-orang terdekat, lebih-lebih lagi bila selalu disertai doa dan ibadah kepada Tuhan (I).


[3]Dewanto Purnomo.  https://penyala.wordpress.com/2012/08/02/psikologi-kebahagiaan/ . 02/08/2012. Achor adalah konsultan bisnis dan dosen mata kuliah Happiness di Harvard University, Amerika Serikat.
[5]Op. Cit., hal 13-14 (pernyataan ini disimpulkan dari cerita anak-anak remaja di Rockdale County)
[6] Op. Cit.,  hal 25
[8] Op. Cit.,  hal 29
[11]Op. Cit.,  40
[13]Dr. Djamaludin Ancok, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995), hal 194-195
[14] Ibid., hal 196
[15]H.D. Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 239. Menurut Bastaman PTS= Perguruan Tinggi Swasta. Dengana akronim yang ada artinya serupa ini (bukan nonsense syallble) diharapkan unsur-unsur pengembangan hidup bermakna menjadi mudah diingat.

Share:

2 komentar

  1. Artikel yang menarik.
    Tapi kok gak akif menulis lagi ya?

    Silahkan kunjungi juga artikel terkait psikologi dari kami
    Perkembangan Psikologi Normal Bayi

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih...
      sedang berusaha kembali kak

      Hapus